“Hoahmmm,”
aku mulai menguap karena pidato kepala sekolah yang mulai membuatku ngantuk.
“Hush, Anya jangan gitu donk, baru 15 menit ju…oahmmm.” Aku pun langsung
menengok sahabat dari SD ku itu, Regina.
“Geblek-geblek…lain
kali kalo mau negur gue mikir-mikir dulu, jeng,” kataku sambil tersenyum.
Sebenernya aku pun sudah tidak tahan untuk tertawa melihat kelakuan si Regina.
“Bukan gitu, gimana pun juga, kita harus menghormati yang lebih tua,” katanya
sok bijak.
“Idih,
geli banget. Lo masih bisa ngomong kayak gitu setelah apa yang telah lo
lakukan. Ckckckck.”
“Jangan
gitu. Gini-gini kita udah jadi anak SMP loh! Gak berasa ya?”
Aku
pun menatap langit yang cerah. Ya, pada hari ini aku resmi menjadi anak SMP,
tidak lagi menggunakan rok merah, rasanya enam tahun pun tak terasa lama.
Seribu tahun aja gak lama kan? Hehe. Dan aku berharap bisa mendapat pengalaman
yang indah di sini. Tiba-tiba suara tepuk tangan terdengar, tanda berakhirnya
pidato kepala sekolah kami.
***
“Wah,
Anya kita sekelas lho! Asik ya! Kita akan memulai kisah kita bersama di tempat
yang baru.”
“Berarti
tahun ini pun adalah tahun sial gue. Lo tau, gue sangat berjuang keras bisa
lulus ujian sekolah, coba tahun kemaren lo gak sekelas gue, gue pasti merem aja
lulus dah,” kataku sambil nyengir kuda. Aku suka sekali menjahili sahabatku
yang satu ini.
“Liat
ntar bakal nyesel lo ngomong gitu, lo pasti bakal berterima kasih sama gue di
kemudian hari nanti.”
“Apa
yang perlu gue sesali? Gue udah sekelas lo satu tahun kok.” Regina pun mulai
cemberut karena tidak bisa membalas ucapanku.
“Yaelah,
gitu aja ngambek. Yuk, ke kelas. Gue duduk sama lo deh.” Regina akhirnya setuju
walaupun aku masih bisa melihat senyum kecut di wajahnya.
***
“Alice.
Bernard. Cindy.” Bu Clara wali kelas kami sedang mengabsen para murid. Banyak
anak baru dari sekolah lain yang tidak kukenal. Aku berharap bisa bergaul
dengan mereka semua nantinya.
“Eh,
Reg, gak ada yang ganteng nih.”
“Gile
lo, belum apa-apa udah ngeliat cowok aja. Aduh apa sih pentingnya cowok-cowok.
Mereka tuh nothing.”
“Yah,
namanya juga kaum hawa. Daripada gue ngleiatin cewek lebih serem kan? Jangan
ngomong gitu, ntar juga pada akhirnya lo bakal punya cowok. Yah, kecuali…”, aku
pun mulai memandangnya dengan pandangan risih.
“Gak
lah ya! Gila apa lo! Gue normal kali! Cuman menurut gue cowok tuh ga penting.
Kalau pun nantinya gue punya cowok, dia tuh pasti cuman mainan. Prinsip gue boys are toys.”
“Zefanya.”
Aku pun mengangkat tanganku mendengar namaku dipanggil. Entah kenapa aku tidak
membalas Regina. Toh, itu haknya dia punya pendapat seperti apa.
“Mulai
besok kalian akan duduk sesuai denah yang telah ibu buat.”
“Yah,
ibu…” Terdengar teriakan kekecewaan anak-anak. Yah, maklum lah namanya juga
bekas anak SD.
“Dan
jangan lupa membawa buku sesuai jadwal yang sudah dibagikan. Itu saja dari
saya, silahkan istirahat. Selamat siang”
“Se…la….mat
si…ang…,bu….” SD nya keliatan banget. Aku pun mengeluarkan bekal dan mulai
makan. Kalau perut sudah memanggil, makanan seperti apa pun pasti membawa
berkah.
“Oh
ya, Aunyaa…nauntih kitha jualan-juulan yuk?” Terkadang ada rasa juga ingin
mengakhiri persahabatan dengan orang ini. Tapi bagaimanapun juga dia selalu
baik terhadapku.
“Telen
dulu baru ngomong, Reg.”
“Nanti
kita jalan-jalan yuk? Gue pengen liat-liat kelas lain”
“Iye,
gampang. Makan dulu aja.”
“Eh,
ada Anya sama Regina. Kita sekelas ya.” Aku menengok menuju arah suara itu dan
ternyata itu suara Jenny. Aku mengenalnya. Dia dulu satu SD denganku dan
Regina.
“Iya
nih Jen. Lo gak makan?”
“Gue
mau minta denah sama si Bu Clara bareng Sasha, lo berdua mau ikut gak?” Aku
melirik sedikit ke arah Sasha. Dulu di
SD, kata temen-temen sih dia anaknya centil-centil gitu. Tapi aku tak pernah
sekelas dengannya. Jadi, aku tidak tahu apa cerita itu benar atau tidak.
“Ayuo,
kitah temuenin, Anyua.”, kata Regina sambil mengunyah makanannya. Aku pun
menengok dengan pasrah. Aku memang teman yang baik sepertinya. Kalau tidak
mungkin aku tidak akan mau mendekati Regina lagi.
***
“Gedung
sekolah kita gede juga ya.” Mulailah tur wisata kami. “Tapi jauh juga ya mau ke
ruang guru. Pake acara lewat kelas kakak senior lagi,” tambah Sasha lagi yang
dari tadi mengomentari.
“Sedih
juga ya, belom apa-apa udah jadi ketua kelas, Jen.”
“Ya
nih, Anya. Gue mulu dah. Kayak gak ada orang lain aja. Lo gitu kek
sekali-kali.”
“Aduh,
gue mah gak jadi pengurus kelas aja
dipanggil guru mulu. Ada aja buat majalah lah, buat ngurusin ini itulah.”
“Woo,
narsis nih ceritanya”
“Yah,
abis kenyataan sih. Ngapain coba gue boong. Gue ude kayak anak emasnya para
guru.” Dan bisa dibayangkan bagaimana reaksi Jenny yang sudah mengenalku yang
narsis ini dari lama.
“Bercanda,
Jen. Gue males aja. Paling entar gue mau coba ikut OSIS aja, biar makin eksis.”
Jenny, Sasha dan Regina mulai menggerutu akibat kenarsisanku yang makin jadi. Kami
semua pun akhirnya tertawa. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang tidak
sengaja menabrak Regina yang berada di paling pinggir.
“Aduh
sori, gue buru-buru nih.” Dan ternyata itu adalah Alan.
“Sialan
lo kontet!” Tentu saja melihat watak dan kepribadian Regina, murkalah cewek
ini.
“Ih,
Regina lo jahat banget sih,” kata Sasha.
“Biarin
aja emang dia kontet kok!”
“Dia
sekelas kita kan? Gue tadi ngliat dia di depan pas upacara.”, kataku.
“Oh
ya? Tapi dia emang kecil ya. Lucu,” tambah Jenny.
“Sekelas?
Khu… khu… khu… abis dia entar sama gue di kelas,” kata Regina dengan semangat.
Yah, aku hanya bisa berharap si Alan nggak makin kontet aja abis ketemu Regina
nanti.
***
Aku
berbaring di kamarku dan seketika mataku terlelap. Sampai pada akhirnya suara pintu
membangunkanku.
“Kak!
Bantuin gue bikin peer donk.” Ternyata itu suara Liana, adik perempuanku.
“Bikin
sendirilah, lo kan pinter. Bisalah. Gue ngantuk nih.” Ketika aku mengatakan dia
pintar, itu berarti dia memang pintar. Dan pintar di sini bukanlah pintar
layaknya orang biasa. Liana adalah tipe anak yang belajar dengan 30 menit dan
semuanya sudah terekam di otaknya. Mengerikan memang, tapi itulah kenyataannya.
“Planet
apa yang paling besar?” Belum sempat aku menjawab pertanyaanya dia sudah
berkata ‘Jupiter’ sambil menepuk dahinya.
“Kalau
planet merah?”
“Venus,”
jawabku ngasal.
“Bukannya
Mars ya? Mars ah.”
“Lah
itu tahu, kenapa tanya coba.” Aku mulai kesal. Maklum aja waktu beauty sleep ku jadi berkurang. Hehe.
“Masa
nanya aja gak boleh sih. Sekalian mempererat hubungan kakak adik kita,” katanya
sambil nyengir kuda.
“Oh
ya, tadi ada telpon kayaknya buat lo. Cuman gue belom sempet nanya namanya dia
udeh tutup telpon. Cewek sih.” Regina mungkin ya? Tapi ngapain juga dia nelpon?
Niat banget. Ah… Ya sudahlah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------
© Zerica Estefania Surya. Novel 10 Air Mata dibuat untuk tugas mata kuliah creative writing
1 komentar:
Ah jejeeeerrrr... ini yang cerita 7C yaa?? AAAAA.... miss you guys so much!!
Posting Komentar