“Kwaheriiii tha volcha!!” Laki-laki
berkulit gelap itu berseru dengan suara lantang. Mungkin kita tidak mengerti
apa maksud dari perkataan laki-laki, yang menggunakan baju berwarna hijau dan
penutup kepala hitam itu. Namun, tidak demikian dengan para warga Kenya yang
tergabung dalam Ballot Revolution.
Ya, ia tidak sendirian. Sambil membawa banyak peti mati berwarna hitam dengan
tulisan “Burry The Vulture With Your Vote”
di atasnya, para warga dari salah satu negara di Afrika Timur itu berjalan
menuju gedung parlemen. Mereka bernyanyi, mengangkat bendera kecil yang berwarna dominan
hijau, merah dan hitam itu, menyiratkan keinginan adanya keadilan terhadap
negara mereka. Seorang anak kecil juga terlihat ikut berjalan sambil membawa pesan
yang bertuliskan “LEADERS MUST PAY TAXES” berwarna merah. Mereka terus
berjalan, bersiul dan meneriakkan aspirasi mereka.
Boniface Mwangi,
seorang jurnalis foto asal Kenya adalah sosok yang berada di balik Ballot Revolution ini. Laki-laki yang
berkulit gelap ini beserta rekan-rekannya mencoba untuk menyampaikan aspirasi
mereka lewat graffiti atau street art. “Kenya adalah salah satu
negara yang terindah di dunia, tetapi orang Kenya sendiri adalah pengecut,”
katanya dalam perjalanan menuju Central Nairobi
dengan menggunakan mobil.
“Kami banyak
mengeluh mengenai korupsi, kebebasan hukum, pengambilan tanah secara paksa,
tetapi kami tidak berbuat apa-apa”, lanjutnya. Hal inilah yang menyebabkan ia
dan teman-temannya untuk keluar dari zona aman dan mengungkap kebenaran.
Pukul sepuluh
malam sesampainya di sana, mereka menyiapkan lampu, menyalakan layar proyektor
dan menampilkan beberapa gambar. Mereka selain Boniface, menggunakan piloks untuk menggambar outline sesuai dengan gambar yang
dikeluarkan proyektor. Para anggota parlemen disimbolkan dengan seekor burung
bangkai yang duduk di sebuah kursi layaknya raja, yang tangan kanannya dirantai
dengan koper yang berisikan uang dan tangan kirinya memegang cangkir yang
mengeluarkan asap. Senyum licik tergambar di wajah burung berparuh besar itu
dan di sebelah kiri kepalanya persis ditulis pemikirannya dengan huruf kapital.
“Am a tribal leader. They loot, rape,
burn, and kill in my defence. I steal their taxes, grab land, but the idiots
will still vote for me”.
“Inti dari ide
ini untuk membangun kembali pemikiran masyarakat khususnya, anak muda,” kata
Uhuru, salah satu seniman graffiti. Mereka
semua berhasil melakukan aksi ini tanpa mendapatkan perhatian dari polisi.
Boniface yang malam itu menggunakan topi rajut putih, kemeja garis-garis
berwarna hijau lumut dipadu dengan jaket hitam, meloncat kegirangan sambil tersenyum lebar melihat
gambar-gambar yang telah diselesaikan teman-temannya.
“Kau tahu, aku
akan datang besok pagi sekitar jam sepuluh untuk melihat hasilnya,” katanya.
“Semua orang
akan bangun dan melihat karya seni ini menghantam mereka tepat di wajah
mereka,” kata Bankslave, salah satu seniman graffiti
lainnya. Langit gelap yang menandakan malam akhirnya berubah menjadi terang
kembali. Pukul tujuh pagi keesokan harinya, aktivitas kembali seperti biasa.
Mobil-mobil putih berlalu-lalang di jalan, seorang laki-laki berbaju
kotak-kotak dengan celana panjang menarik tabung-tabung berwarna kuning yang
sudah diikat pada sebuah besi beroda. Namun, hari itu banyak orang yang
berhenti untuk menatap hasil karya yang telah dibuat Boniface dengan
teman-temannya, malam sebelumnya. Ada yang menatap kebingungan, ada juga yang
tertawa.
“Tetapi, orang
idiot itu tetap memilihku. Kita adalah orang idiot itu,” respon salah satu
laki-laki sambil tertawa. Seminggu kemudian, apa yang dilakukan Boniface dan
teman-temannya menjadi berita nasional dan polisi pun berusaha mencari
pelakunya. Beberapa politisi bahkan sempat mendatangi laki-laki yang tinggal di
Nairobi ini untuk mengajaknya bekerja sama, dan mau memberikannya uang, namun
hal itu ditolak olehnya. Ancaman pun muncul, beberapa hari setelahnya, ia
dipanggil oleh polisi. Laki-laki yang sudah memiliki anak ini, mengumpulkan
teman-temannya lewat online untuk
datang ke kantor polisi. Tidak lama kemudian, ia pun bebas.
Pada
Desember,2007, Pihak oposisi yang merasa jabatan presiden direbut oleh Mwai
Kibaki mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis. Antar masyarakat saling
melempar batu, korban berjatuhan, rumah-rumah dibakar. Seorang wanita berbaju
biru muda hanya bisa menangis, meratapi apa yang terjadi. 1.100 orang terbunuh
dan sampai 600.00 orang terlantar akibat kekerasan itu. Boniface yang waktu itu
meliput akhirnya membuat sebuah pameran foto di jalanan atau yang ia sebut Picha Mtaani.
Banyak orang
yang melihat hasil karyanya, bahkan di antara orang tersebut ada seorang
laki-laki dengan tangan buntung dan menggunakan kemeja berwarna abu-abu,
melihat “telapak tangannya” yang masih memegang sebuah sabit kecil dari besi di
atas sebuah batu dan sempat diabadikan oleh sang fotografer. Ada yang terkejut,
ada yang menangis mengingat masa lalu yang kelam itu. Di kota Naivasha,
Boniface terpaksa menghentikan pamerannya karena adanya orang yang tidak senang
dengan apa yang dilakukannya. Hal itulah yang membuat Boniface dan
teman-temannya memikirkan kejutan terakhir yaitu peti mati.
“We want justice, now! Now! Now!” Kalimat itu
terus diulang-ulang oleh para massa sampai di gedung parlemen. “Thieves! Thieves!” Teriak laki-laki bertubuh
besar dengan kaos putih, tepat di depan pagar hitam gedung parlemen. Massa pun
tidak terkontrol. Banyak orang berteriak bahkan ada yang melempar peti mati
hitam itu ke dalam gedung parlemen. Melihat hal itu, Boniface pun akhirnya
turun tangan mengambil alih perhatian mereka.
“Kita akan
meninggalkan semua peti mati di depan pagar. Tidak perlu ada kekerasan. Kita
akan memperbaikinya dengan hak suara kita.”
“Kita bukan
orang kasar dan kita ingin kedamaian dalam Ballot
Revolution ini,”lanjutnya lagi. Semua orang mendengarkannya dan mulai
menaruh semua peti mati di depan pagar tersebut. Mereka menyusunnya secara
vertikal agar tulisan yang ada di atas peti terlihat, ingin suara mereka di
dengar.
“Kita datang
dengan damai, maka kita juga pulang dengan damai,” kata Boniface yang hari itu
menggunakan baju berwarna hitam. Pemilihan umum selanjutnya akan diadakan pada
tahun 2013 dan laki-laki dengan rambut tipis itu sadar bahwa apa yang ia
lakukan mungkin sia-sia, tetapi ia tidak
ingin kehilangan harapan dan ia tahu doanya akan terjawab cepat atau lambat. Ia
sangat berharap sifat dari “burung bangkai” itu hilang. Itulah sebabnya mereka
menulis “Bury the Vulture” atau dalam
bahasa Swahili, “Kwaheri the vulture”.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tugas Penulisan Feature dari video Kenya Rising, Zerica Estefania Surya
1 komentar:
Awal yg menarik... tapi backsound-nya agak mengganggu.
Posting Komentar