Pandu Djarwanto
sekali-kali menatap pabrik baret dua tingkat yang ia miliki di hadapannya
sambil merokok. Tumpukan baret hijau yang ada di meja, mesin-mesin pembuat topi
khusus untuk para tentara yang diimpor langsung dari Jepang, tabung-tabung
erlenmeyer berisikan warna-warna sintesis yang samar-samar terlihat, karena
pencahayaan yang kurang di malam hari itu, menghiasi halaman belakangnya. Asap
rokok yang ia keluarkan dari mulutnya seakan-akan menjadi pengantarnya mengenang
kembali perjalanannya menjadi seorang pengusaha baret tentara.
Laki-laki yang
berasal dari Solo ini pergi ke Jakarta pada tahun 1966 untuk membantu pamannya
yang adalah seorang pedagang tekstil. Ia pun berhenti kuliah pada tahun
ketiganya di Trisakti karena kesibukan membantu pamannya ini. Tahun 1990, ia
sempat menjadi supplier baret dan
sepatu untuk TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik
Indonesia). Tujuh belas tahun kemudian, dengan bekal dan pengalamannya, laki-laki
yang menggunakan baret hitam bertuliskan “Old Navy” pada saat diwawancara ini,
memutuskan untuk membangun pabriknya sendiri yang sekarang terletak di rumahnya
di Bintaro.
Pandu Djarwanto |
“Tahun 2008 jadi
tahun perdana baret saya,”ujarnya. Acara ulang tahun angkatan darat atau Hari
Juang Kartika yang diselenggarakan pada 15 Desember di Pacitan itu menjadi
momen penting baginya. Ia masih ingat betul dua hari sebelumnya, di hari Sabtu,
ia mendapat telepon dari Yayan, salah seorang tentara yang menjadi “jembatan”
agar baret dari PT Bhakti Prakasa, nama pabrik miliknya, bisa dipakai seluruh
angkatan darat termasuk yang hadir salah satunya adalah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono.
“Dia (Yayan) sempat
tidak percaya dengan saya karena masih baru,” katanya. Yayan bahkan berpendapat
untuk tetap membayar baret dari pabrik laki-laki yang memiliki kulit sawo
matang ini, namun tidak menggunakan baret miliknya melainkan yang sudah ada di
gudang angkatan darat.“Tidak apa, Pak. Tetap, pakai baret saya saja, Saya
jamin. Bapak tidak usah khawatir” tuturnya, kembali mengilustrasikan
pernyataannya kepada Yayan lima tahun yang lalu.
Bagi seorang
anggota TNI, baret mewakili kebanggaan dari setiap cabang dan tidak semua
cabang memiliki baret. Warna hijau mewakili KOSTRAD (Komando Strategi dan
Cadangan Angkatan Darat), merah mewakili KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus),
hitam mewakili KAVALERI, ungu mewakili angkatan laut, jingga mewakili PASKHAS
AU (Pasukan Khas Angkatan Udara) dan biru mewakili Polisi Militer, yang biasa
dilengkapi dengan emblem dari masing-masing cabang. Selain itu, arah pemakaian
baret juga mempunyai arti tersendiri. Baret yang biasa dipakai miring memiliki
dua arti. Miring ke kiri menandakan anggota tersebut adalah anggota keamanan
masyarakat, seperti POLRI. Miring ke kanan menandakan anggota tersebut adalah
anggota siap tempur, seperti TNI. Tidak semua anggota dengan mudah bisa
memiliki baret yang mewakili identitasnya. Inilah yang membuat baret menjadi
kebanggaan lainnya.
Rasa bangga
karena sebuah baret juga terjadi pada Pandu. Pukul tiga sore hari itu, saat
Pandu sedang berada di Tanjung Priok, Yayan menelponnya dan mengucapkan terima
kasih karena baret yang dikenakan oleh para angkatan darat, mendapatkan pujian
dari para pemimpin besar TNI. “Saya benar-benar bangga luar biasa. Uangnya
tidak banyak, 300 juta, namun rasa bangga melebihi tiga miliar,” katanya sambil
tertawa.
Namun bukan
berarti tidak ada duka dalam usahanya ini. Bekerja dengan anggota-anggota TNI
dinilai tidak mudah oleh laki-laki yang lahir pada tanggal 2 Oktober 1948 ini.
“Banyak hal yang tidak pernah kita ketahui,” katanya.
Persaingan menjadi salah satu alasannya. Sudah beberapa kali hal ini terjadi
dalam usahanya. “Yang paling terakhir bahkan rugi banyak. Yah begitu saja tiba-tiba dibatalkan,” ujar laki-laki yang berusia 67 tahun ini. Ia
berjuang untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya, namun ia tetap babak belur
karena stok baret yang sudah ada karena uangnya tidak kembali seluruhnya. “Bisa
saja saya lawan lebih jauh, tapi saya tahu efeknya tidak akan bagus,” lanjutnya
lagi.
Hal yang juga
menjadi kendala lain adalah para tenaga kerja. “Mencari tenaga kerja yang
khusus di bidang tertetu sangat sulit.” Para tenaga kerja rata-rata masih muda
dan berasal dari kalangan tidak mampu. Ada yang putus sekolah dan ada juga yang
anak tukang becak. Biasanya mereka membawa teman-teman mereka untuk bekerja.
Yang penting menurut laki-laki yang memiliki seorang cucu perempuan ini,
anak-anak tersebut mau diajak bekerja dan mau belajar. Tidak peduli apapun
latar belakang pendidikannya.
Dalam sehari,
baret yang dihasilkan PT Bhakti Prakasa bisa mencapai 500 buah. Mesin-mesin
yang dipakai masih impor karena masih jarang ditemukan di Indonesia. Terkadang
untuk produksi baret pun dibagi dua dengan pabrik lain karena alasan kebutuhan
stok yang banyak. Proses pemesanan pun dilakukan dengan sistem tender.
“Biasanya pemilik pabrik diundang jika akan melakukan tender,” tuturnya.
Menurutnya untuk
membuat pabrik baret dari awal akan sulit. Selain tenaga kerja yang sulit
dicari, bahan-bahan pembuat baret, seperti benang wol masih harus impor dan
hubungan dengan para anggota militer juga menjadi kunci. “Tapi terkadang,
pabrik baret itu nasibnya tidak menentu walaupun sudah ada hubungan sekalipun,”
ujarnya. Ada beberapa pabrik baret di Indonesia seperti salah satunya, CV. Rajawali
9 Garment. Walaupun saingannya tidak begitu banyak, namun prinsip yang dipegang
oleh laki-laki yang menikahi Yetty Surya, anak perempuan dari pasangan Surya
Bhakti dan Isabela Sriliani ini hanya satu dalam persaingan bisnis baret ini.
“Selama barang kita
bagus, orang pasti akan datang. Maka dari itu, saya punya komitmen untuk
memberikan yang terbaik.” Ia berani mengganti baret yang cacat jika ada yang
warna yang kurang solid. Ia mengakui
harga yang ditawarkan memang lebih mahal dibandingkan pabrik yang lain, namun ia
percaya dengan baret yang ia hasilkan bukan baret sembarangan. “Kalau ada yang
cacat satu, saya ganti dengan dua baret,” katanya. Maka dari itu, keuletan dan
keberanian adalah faktor penting yang harus dimiliki dalam bisnis ini
menurutnya.
“Pribadi saya
sendiri yang menjadi motivasi. Keluarga saya tidak begitu menyukai usaha ini
sebenarnya karena banyak faktor. Namun, saya tahu bahwa usaha ini sudah menjadi
jalan saya,” kata laki-laki yang memiliki dua orang anak ini. “Dan bagi saya
baret adalah kebanggaan saya,” tambahnya lagi. Melihat baret yang dihasilkan
dari hasil usahanya sendiri dan dipakai oleh hampir seluruh angkatan darat di
Indonesia khususnya KOPASSUS, belum lagi ditambah baret tersebut dipakai oleh
anggota-anggota TNI ternama, seperti Jenderal Hartono, Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, Kepala Staf
Angkatan Darat, Jenderal Pramono Edhie Wibowo, Prabowo Subianto bahkan Susilo
Bambang Yudhoyono.
Permintaan brevet kehormatan Baret Kopassus kepada Bapak SBY | dari Kabekang Kopassus Cijantung |
Anne Clarissa, anak perempuannya ini juga
menyatakan hal yang sama. “Baret itu kebanggaan Papa,” katanya. Di matanya,
sosok ayahnya adalah pribadi yang ambisius, realistis dan bermental baja.“
Sadar atau tidak sadar, Papa selalu pakai baret kemana pun dia pergi,” ujar
perempuan yang juga mempromosikan baret kepada temannya sebagai salah satu
bentuk atribut fashion. “Jadinya,
kalau lihat Papa, nggak pakai baret,
rasanya ada yang kurang aja,” tambahnya lagi.
“Saya tidak bisa
membuat seperti yang lain, tapi saya bisa membuat yang lebih baik,” ujar
laki-laki yang mempunyai keinginan membuat pabrik emblem tentara ini. “Saya
percaya dengan baret saya,” tambahnya lagi. Baret menjadi sebuah rasa
kepercayaan diri serta kebanggaan, dan itulah makna baret bagi Pandu Djarwanto.
Zerica Estefania
Surya/ 11140110026/ C
Tidak ada komentar:
Posting Komentar