Rabu, 20 Maret 2013

Bermain Tak Mengenal Zaman (Tugas Penulisan Feature Kedua)



Apa yang Anda lakukan ketika Anda merasa bosan waktu kecil? Rasanya tidak sabar untuk pulang sekolah dan bertemu teman-teman. Pergi ke lapangan sambil membawa bola sepak atau bertemu dengan barbie tercinta di rumah. Apa pun macamnya, semuanya itu merujuk pada satu hal. Ya, apalagi kalau bukan bermain. Setiap orang memiliki masa kecil yang berbeda dan memainkan permainan yang berbeda, namun mereka melakukan hal yang menyenangkan ini dengan cara mereka sendiri.
Olinda mengunyah nasi putih yang ia santap bersama tumis sawi hijau yang dibuatnya. Ia mengerutkan dahinya, mengingat kembali masa kecilnya. “Waktu saya umur 15 tahun, saya sering main congklak,” kata perempuan yang berusia 55 tahun ini. Congklak yang ia maksud bukan dari plastik atau kayu yang ada di zaman sekarang. “Kita buat sendiri dari tanah. Buat lubang terus main pakai batu kecil.” Waktu ia kecil, ia bermain dengan Sudit, Nuisa, Abusta dan Susepa, teman-temannya.
Olinda
“Dulu, kita juga sering main bombakeru.” Bombakeru adalah sejenis permainan “ular naga” di mana anak-anak berbaris panjang menyerupai tubuh naga yang panjang dan dengan diiringi lagu, mereka berjalan dan berputar sampai lagu habis. Kemudian, dua anak yang berhadapan untuk membuat terowongan “si naga” bisa menangkap salah satu anak. Bedanya istilah ini populer di daerah Timor Leste. Di masa kecil perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu, boneka sudah ada, namun jarang sekali. Hanya toko milik warga Tionghoa yang menyediakan, itu pun sangat sedikit dan mahal. “Mending buat makan duitnya,” tuturnya.
Lain halnya dengan pengalaman Hironimus Alo Bua. Laki-laki yang biasa disapa Roni ini, bermain bola pada masa kecilnya. “Paling asik. Kalau hujan lanjut terus,” katanya sambil tertawa. Sambil mengelus seekor anjing chihuahua hitam berkepala coklat di garasi berlantai putih, ia mulai memikirkan nama teman-teman yang biasa ia ajak main. “Ada Tomas, Niko, sama Sondy.” Kalau sudah sore, mereka berempat pasti langsung pergi ke lapangan kosong dekat sekolah. “Kadang main bola.Pernah bukannya nendang bola malah nendang batu,” sambil menunjukkan kuku kelingking kaki kirinya yang hilang.
“Atau nggak, kita biasa main Santo,” lanjut laki-laki yang berkulit sawo matang dan menggunakan baju garis-garis biru itu. Permainan Santo dalam istilah Toraja adalah permainan melempar batu dengan kaki menuju batu-batu yang sudah ditumpuk di belakang sebuah garis. “Kadang orang tua suka ngomel, soalnya kerjaan belum beres tapi udah kabur main.”
Benny Surya yang bekerja sebagai salah satu pegawai supplier makanan tentara, di sebuah perusahaan swasta , juga sering kena marah oleh orang tuanya karena kebanyakan main. “Gara-gara main layangan sampai malam.” Ditanya mengenai permainan favorit, bapak dengan tiga orang anak ini menjawab sepak bola adalah permainan yang paling seru. “Saking serunya, sampai bela-belain bangun pagi buat main bola di jalan raya.” Ia membetulkan kacamata  lis hitamnya. “Tapi, cuman pas sahur di bulan puasa, jadi jalanan sepi.”
Kalau anak perempuan di daerahnya waktu itu, mereka senang bermain samse dan bekel. Samse adalah permainan di mana anak perempuan biasanya mengumpulkan bunga, kemudian diikat dan mereka akan melemparnya dengan kaki secara beregu, berharap bunga tidak jatuh. “Mami, juga pernah main bekel,” kata ibu saya, Celia Vide. Perempuan berambut pendek ini langsung pergi mengambil batu-batu di depan rumah dan membawanya ke kamarnya. Ia mengenggam delapan batu coklat dan melempar satu batu ke atas. Matanya tetap menuju batu yang berada di udara dan menyebarkan sisa batu yang ada di tangan kanannya itu. “Nih yah, lihat.” Perempuan yang memiliki tato berbentuk bunga di kakinya, melemparkan batu yang sudah ia tangkap sebelumnya, dan mengambil satu batu yang tadinya sudah disebar. “Begitu terus sampai habis, lanjutnya ambil dua-dua.” Permainan ini biasanya dimainkan dengan menggunakan bola bulat kecil yang biasa disebut bola bekel. “Kalau di zaman Mami, belom ada bolanya. Jadi, mainnya kayak gini.”
Carlos Denizio bermain dengan PSP birunya
Namun, permainan tradisional sangat jarang dimainkan oleh Carlos Denizio yang masih duduk di kelas lima SD Pahoa, Gading Serpong ini. “Jarang banget. Temenku yang perempuan juga nggak main. Paling petak umpet,” katanya yang mengenakan kaus kutang berwarna putih dan celana merah. Pengaruh teknologi permainan yang ada dan juga pengaruh dari teman-temannya sangat dirasakan Deniz. “Kalau kita main petak umpet nih ya, pasti ada yang bilang “Jadul! Jadul!” gitu,” ujarnya sambil memegang Playstation Portable-nya yang berwarna biru, atau yang lebih dikenal sebagai PSP.
“Main Playstation yang paling asik. Soalnya seru, ada tokohnya. Bisa jalan lagi,” ujar laki-laki yang juga lebih memilih bermain dengan iPad dan game online. Walaupun begitu, menurutnya bermain dengan teman-teman yang “ada” lebih seru dibandingkan bermain lewat internet. Hal serupa juga disampaikan oleh Jose Vide. “Walaupun udah ada video game waktu itu, tapi saya lebih memilih bermain bola di lapangan bersama teman-teman,” kata laki-laki yang berusia 25 tahun itu.
Jika dibandingkan dengan teknologi permainan sekarang, Benny lebih memilih permainan yang ia mainkan dulu. “Lebih asik rame-rame. Udah gitu mainan pun kita buat sendiri. Kalau sekarang, banyakan anak-anak main, tapi sendirian aja di kamar.” Ia pernah membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali dan ia mainkan bersama teman-teman SD-nya.
Roni yang pernah memainkan playstation sebelumnya juga tetap memilih bermain sepak bola di lapangan dengan keringat mengucur. “Biasa aja. ‘Rasa’-nya beda aja,” katanya sambil mengangkat kedua bahunya. Untuk Lissa Christie yang sedang duduk di kelas tiga SMA Tarakanita, Gading Serpong, bermain dengan menggunakan “mesin” dan bermain dengan barbie kesayangannya memiliki daya tarik masing-masing.
Bagi perempuan berambut ombak panjang ini, bermain dengan playstation seru karena adanya grafis, gambar yang ditampilkan lewat televisi. Hal itu yang membuat playstation menarik menurutnya. Walaupun boneka Barbie yang ia koleksi, sudah banyak disumbangkan, namun terkadang jika mengingatnya kembali, ada perasaan menyesal dan rindu akan boneka yang berbentuk manusia itu. “Gue dulu lebih sering main sendiri di rumah sama Barbie gue. Jadi, kangen aja kalau ingat lagi.”
Apa pun permainan yang dimainkan dan apa pun benda yang digunakan, mereka semua tertawa dan tersenyum menceritakan kembali masa kecilnya. Mau dari manapun mereka berasal, dan dari era manapun mereka, bermain masuk ke dalam kenangan mereka dan hal tersebut tidak tergantikan. Jadi, bagaimana dengan Anda?

Zerica Estefania Surya/11140110026