Minggu, 01 September 2013

Sabtu, 25 Mei 2013

Sunflowers

I want to be like sunflowers. Grow taller and taller, like you can reach the sky. 

Bright and shine especially when the sun appeared, just like a love you accepted from other people to make you standing still.  

Confident with the bold yellow colour, not afraid to be different 
 and,

 when you look at it, you can do nothing but smile, because they give warmness to you.

Kamis, 09 Mei 2013

Yudha Brama Jaya (Tugas Profil Perjalanan)



“Unit 65 dipanaskan! Unit 65!”, ujar laki-laki berkulit sawo matang itu.
“Unit 65, Pak?” Tanya saya kebingungan.
“Iya, 65 itu kode untuk kebakaran. Kalau 66 untuk banjir.”
“Setelah itu disebutkan alamat lokasi kejadian dan ada bunyi sirene panjang. Nguuuunngggg...,” tambahnya memperagakan bunyi sirene jika ada pelaporan kebakaran oleh masyarakat. Laki-laki itu adalah Boediono. Kepala Seksi Kecamatan Cakung ini sudah 15 tahun bekerja di Suku Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana, Kota Administrasi Jakarta Timur.
Jalan Matraman Raya tidak begitu macet siang itu. Pukul sebelas siang di hari Selasa, memungkinkan masyarakat Jakarta sedang melangsungkan akrivitas bekerjanya. Lewat kaca mobil di sebelah kiri saya, mobil-mobil besar yang dominan berwarna merah itu, diparkir rapi walaupun ada beberapa motor para pemadam kebakaran berada di depan mobil-mobil tersebut. Kantor Pemadam Kebakaran di wilayah Jakarta Timur ini sebenarnya terletak di samping sekat-sekat tempat mobil pemadam kebakaran diparkir. Hanya ada dua warna yang menghiasi tembok-tembok sepanjang gedung itu. Warna merah dan biru. “Semua kantor pemadam kebakaran pasti menggunakan warna yang sama,” jelas Boediono sambil meminum kopi hitamnya.


Warna merah melambangkan keberanian atau semangat yang membara, sedangkan biru melambangkan kesetiaan. Dua warna ini juga terlihat pada logo Asosiasi Pemadam Kebakaran Indonesia yang bisa ditemukan ketika Anda berada di area tempat parkir mobil pemadam kebakaran, yang terletak di dekat tiang bendera atau di setiap pintu mobil pemadam kebakaran jenis apapun. Lima kelopak Bunga Wijaya, dua tangkai 19 lidah api, air, selang, kampak, helm menjadi sebuah kesatuan logo dengan dibawahnya persis tertulis, “YUDHA BRAMA JAYA”, yang berarti kemenangan dan keberhasilan dalam perang melawan kebakaran.
Untuk pemadam kebakaran sendiri sebenarnya sudah dibentuk pada tahun 1873 pada zaman Hindia Belanda. Peraturan tentang kebakaran sendiri atau yang dikenal dalam bahasa Belanda, Reglement of de Brandweer sudah dikeluarkan pada tanggal 25 Januari 1915. Inilah mengapa pada zaman dahulu, biasanya pemadam kebakaran dipanggil dengan sebutan Brandweer. Selain itu, tanggal 1 Maret 1929 juga menjadi momen penting. Tanda penghargaan dalam bentuk prasasti diserahkan kepada Brandweer Batavia karena sudah menjalankan tugasnya sebagai pemadam kebakaran. Prasasti ini sampai sekarang tersimpan di kantor Dinas Pemadam Kebakaran, Ketapang, Jakarta Pusat. Barulah pada tahun 1969, nama Dinas Pemadam Kebakaran dipakai.
Untuk kantor utama di Jakarta Timur ini tidak terlihat seperti kantor-kantor pada umumnya. Dua lemari pendek yang terbuat dari kayu masing-masing satu di sebelah kiri pintu dan di sebelah kanan pintu. Berkas-berkas dokumen berada di atas lemari kayu di sebelah kiri, sedangkan helm berwarna hitam ditaruh di atas lemari sebelah kanan. Poster film “Si Jago Merah” yang salah satunya dibintangi oleh Ringgo Agus Rahman, terpampang di tembok berwarna putih tersebut. Dua komputer masing-masing berwarna hitam dan putih juga sudah tidak digunakan. Hanya meja hitam dan sebuah asbak menjadi “teman” bagi para petugas untuk bercerita satu sama lain,berbagai pengalaman mereka.
“Waktu kebakaran di Bursa Efek Jakarta, saya ikut menangani,” kata Boediono. Sampai di sana, banyak orang di luar,” lanjutnya lagi. Bom yang terjadi pada tanggal 13 September 2000 itu menewaskan 15 orang, sepuluh di antaranya karena kesulitan bernapas. “Saya sempat takut juga karena penyebab kebakaran adalah bom,” kata laki-laki lulusan Intitut Pertanian Bogor ini. “Bisa saja ada bahan kimia yang berbahaya,” tambah laki-laki yang orang tuanya  juga seorang pemadam kebakaran.
“Saya juga pernah menyelamatkan seseorang yang terjatuh di sumur.” Di dalam sumur bisa saja tidak adanya oksigen, sehingga masyarakat dihimbau untuk tidak langsung menyelamatkan korban. “Terkadang ada saja orang yang mau menyelamatkan, eh..malah jadi nambah korbannya,” tuturnya.
Pekerjaan seorang pemadam kebakaran sebenarnya tidak hanya memadamkan kebakaran. Ikut menanggulangi bencana seperti banjir juga menjadi salah satu tugas mereka. Dinas Pemadam Kebakaran Jakarta Timur pernah menyediakan perahu karet waktu adanya banjir di Jakarta pada tahun 2010. Tidak hanya masalah banjir saja, tetapi semua yang sifatnya mendesak seperti pohon tumbang, seseorang yang terjepit atau bahkan menyelamatkan para hewan peliharaan. “Waktu itu ada kucing gubernur tersangkut di pohon, yah kita yang selamatkan,” kata Boediono sambil tertawa.
Namun tetap saja masalah utama yang sering dihadapi para pemadam kebakaran adalah kebakaran itu sendiri. Seperti dilansir Kompas.com, kebakaran yang terjadi di Jakarta pada tahun 2012 mencapai 1.008 kejadian dengan Jakarta Timur lebih “unggul” dibanding yang lain sebanyak 285 kali kejadian. Penyebab utama terbesar adalah korsleting listrik. Hal ini dibenarkan oleh Boediono. “Ini semua karena standar keselamatan pada sebuah bangunan tingkat tinggi tidak diketahui pemilik atau gara-gara masalah kecil.” Terkadang bahan-bahan yang ada di gedung tersebut mudah terbakar atau masalah seperti penggunaan tusuk kontak secara bertumpuk. “Biasanya kita panggil pemilik perusahaan jika tidak sesuai standar,” tambah laki-laki kelahiran Jakarta tersebut.
Bagi seorang pemadam kebakaran, mobil pemadam kebakaran adalah “sahabat sejatinya”. Setiap mobil memiliki jenis yang berbeda-beda. Saya pun berjalan-jalan ke area parkir untuk melihat lebih dekat. Ada mobil yang hanya berisi air saja, foam saja, kipas angin untuk menghilangkan asap atau alat pemadamnya saja. Setiap mobil memiliki kode sendiri yang ditulis di pintu setiap mobil, seperti T 01-02 atau T 09-01 dengan warna kuning.
Di mobil kode T 01-02, ada empat saluran yang bisa dipasang dengan selang, selain itu adanya pegangan untuk mengatur seberapa besar air yang keluar. T 01-02 dapat menampung 4000 liter air. Di sekat paling kanan, terdapat mobil dengan kode 563, tidak ada perbedaan warna dengan mobil sebelumnya, namun tangga berwarna putih yang bisa mencapai 24 meter itu berada di atasnya. Lain lagi dengan kode 508, bagian mobil ini dilengkapi dengan kotak besar yang berisikan pasokan air tambahan.
Saya pun berjalan ke belakang melewati kantor utama. Di sebelah kanan persis pintu kantor utama, ada sebuah majalah dinding yang ditempel kertas berwarna-warni berisikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan para petugas seperti lomba-lomba dan ajakan untuk olahraga bersama. Dua orang petugas dengan seragam berwarna biru sedang menikmati acara televisi dan lainnya sedang bermain catur. Di area belakang, mobil-mobil pemadam kebakaran lainnya sedang dicuci, Ada juga yang menikmati makan siangnya di warung-warung kecil di depan gedung. Sekitar 450 orang bekerja menjadi pemadam kebakaran untuk wilayah Jakarta Timur dan mereka tahu bahwa menjadi pemadam kebakaran bukanlah hal mudah.
“Pemadam kebakaran itu kerja sosial dan taruhannya nyawa,” ujar Boediono. Boediono tahu bekerja menjadi pemadam kebakaran bukanlah pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan tinggi. “Gaji saya tidak seberapa dengan pekerjaannya. Kakak saya pernah di sini, tapi dia keluar. Tidak tahan,” kata laki-laki yang memiliki dua orang anak ini.
 Belum lagi masalah, masyarakat yang terkadang selalu merasa tidak puas karena keterlambatan pemadam kebakaran. Di Jakarta yang sudah terkenal dengan kemacetannya tentu saja bukanlah hal mudah untuk mencapai lokasi kebakaran dengan cepat. “Kami selalu mencoba untuk datang lebih cepat. Target kami sepuluh sampai lima belas menit dalam perjalanan.” Wilayah Jakarta Timur menyediakan 24 pos untuk mempermudah para petugas datang ke lokasi lebih cepat.
Selain itu, seorang petugas pemadam kebakaran bekerja selama 24 jam dan mendapatkan hari kosong selama dua hari setelah bertugas. “Sempat capek, tapi itu kan pekerjaan kita,” kata Boediono. “Kadang baru mau mandi, eh ada kebakaran lagi,” tambahnya. Namun, mereka mengemban tugas ini dengan serius. Bagi mereka kebakaran adalah hal yang sangat berbahaya sehingga dibutuhkan konsentrasi yang tinggi.
Tinnnn! Tinnn! Suara klakson mobil terdengar di jalan raya, namun tidak ada suara “nguunnnnggg” dari sirene seperti yang diperagakan Boediono. Para petugas bersantai, menikmati hiburannya masing-masing, tetapi siapa yang tahu. Jam selanjutnya, menit selanjutnya atau detik selanjutnya, mereka semua akan mengenakan helm putih dan jaket oranye, bersama dengan “sahabat sejati” mereka, sang mobil pemadam kebakaran, melaksanakan makna dari warna cat tembok yang bukan sekedar warna, mempertaruhkan nyawa untuk melayani masyarakat karena sebuah kode “65”.
Zerica Estefania Surya/11140110026/C

Kamis, 02 Mei 2013

Kebanggaan Dalam Sebuah Baret (Tugas Feature Profil)



Pandu Djarwanto sekali-kali menatap pabrik baret dua tingkat yang ia miliki di hadapannya sambil merokok. Tumpukan baret hijau yang ada di meja, mesin-mesin pembuat topi khusus untuk para tentara yang diimpor langsung dari Jepang, tabung-tabung erlenmeyer berisikan warna-warna sintesis yang samar-samar terlihat, karena pencahayaan yang kurang di malam hari itu, menghiasi halaman belakangnya. Asap rokok yang ia keluarkan dari mulutnya seakan-akan menjadi pengantarnya mengenang kembali perjalanannya menjadi seorang pengusaha baret tentara.
Laki-laki yang berasal dari Solo ini pergi ke Jakarta pada tahun 1966 untuk membantu pamannya yang adalah seorang pedagang tekstil. Ia pun berhenti kuliah pada tahun ketiganya di Trisakti karena kesibukan membantu pamannya ini. Tahun 1990, ia sempat menjadi supplier baret dan sepatu untuk TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik Indonesia). Tujuh belas tahun kemudian, dengan bekal dan pengalamannya, laki-laki yang menggunakan baret hitam bertuliskan “Old Navy” pada saat diwawancara ini, memutuskan untuk membangun pabriknya sendiri yang sekarang terletak di rumahnya di Bintaro.
Pandu Djarwanto
“Tahun 2008 jadi tahun perdana baret saya,”ujarnya. Acara ulang tahun angkatan darat atau Hari Juang Kartika yang diselenggarakan pada 15 Desember di Pacitan itu menjadi momen penting baginya. Ia masih ingat betul dua hari sebelumnya, di hari Sabtu, ia mendapat telepon dari Yayan, salah seorang tentara yang menjadi “jembatan” agar baret dari PT Bhakti Prakasa, nama pabrik miliknya, bisa dipakai seluruh angkatan darat termasuk yang hadir salah satunya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Dia (Yayan) sempat tidak percaya dengan saya karena masih baru,” katanya. Yayan bahkan berpendapat untuk tetap membayar baret dari pabrik laki-laki yang memiliki kulit sawo matang ini, namun tidak menggunakan baret miliknya melainkan yang sudah ada di gudang angkatan darat.“Tidak apa, Pak. Tetap, pakai baret saya saja, Saya jamin. Bapak tidak usah khawatir” tuturnya, kembali mengilustrasikan pernyataannya kepada Yayan lima tahun yang lalu.
Bagi seorang anggota TNI, baret mewakili kebanggaan dari setiap cabang dan tidak semua cabang memiliki baret. Warna hijau mewakili KOSTRAD (Komando Strategi dan Cadangan Angkatan Darat), merah mewakili KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus), hitam mewakili KAVALERI, ungu mewakili angkatan laut, jingga mewakili PASKHAS AU (Pasukan Khas Angkatan Udara) dan biru mewakili Polisi Militer, yang biasa dilengkapi dengan emblem dari masing-masing cabang. Selain itu, arah pemakaian baret juga mempunyai arti tersendiri. Baret yang biasa dipakai miring memiliki dua arti. Miring ke kiri menandakan anggota tersebut adalah anggota keamanan masyarakat, seperti POLRI. Miring ke kanan menandakan anggota tersebut adalah anggota siap tempur, seperti TNI. Tidak semua anggota dengan mudah bisa memiliki baret yang mewakili identitasnya. Inilah yang membuat baret menjadi kebanggaan lainnya.
Rasa bangga karena sebuah baret juga terjadi pada Pandu. Pukul tiga sore hari itu, saat Pandu sedang berada di Tanjung Priok, Yayan menelponnya dan mengucapkan terima kasih karena baret yang dikenakan oleh para angkatan darat, mendapatkan pujian dari para pemimpin besar TNI. “Saya benar-benar bangga luar biasa. Uangnya tidak banyak, 300 juta, namun rasa bangga melebihi tiga miliar,” katanya sambil tertawa.
Namun bukan berarti tidak ada duka dalam usahanya ini. Bekerja dengan anggota-anggota TNI dinilai tidak mudah oleh laki-laki yang lahir pada tanggal 2 Oktober 1948 ini. “Banyak hal yang tidak pernah kita ketahui,” katanya. Persaingan menjadi salah satu alasannya. Sudah beberapa kali hal ini terjadi dalam usahanya. “Yang paling terakhir  bahkan rugi banyak. Yah begitu saja tiba-tiba dibatalkan,” ujar laki-laki yang berusia 67 tahun ini. Ia berjuang untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya, namun ia tetap babak belur karena stok baret yang sudah ada karena uangnya tidak kembali seluruhnya. “Bisa saja saya lawan lebih jauh, tapi saya tahu efeknya tidak akan bagus,” lanjutnya lagi.
Hal yang juga menjadi kendala lain adalah para tenaga kerja. “Mencari tenaga kerja yang khusus di bidang tertetu sangat sulit.” Para tenaga kerja rata-rata masih muda dan berasal dari kalangan tidak mampu. Ada yang putus sekolah dan ada juga yang anak tukang becak. Biasanya mereka membawa teman-teman mereka untuk bekerja. Yang penting menurut laki-laki yang memiliki seorang cucu perempuan ini, anak-anak tersebut mau diajak bekerja dan mau belajar. Tidak peduli apapun latar belakang pendidikannya.
Dalam sehari, baret yang dihasilkan PT Bhakti Prakasa bisa mencapai 500 buah. Mesin-mesin yang dipakai masih impor karena masih jarang ditemukan di Indonesia. Terkadang untuk produksi baret pun dibagi dua dengan pabrik lain karena alasan kebutuhan stok yang banyak. Proses pemesanan pun dilakukan dengan sistem tender. “Biasanya pemilik pabrik diundang jika akan melakukan tender,” tuturnya.
Menurutnya untuk membuat pabrik baret dari awal akan sulit. Selain tenaga kerja yang sulit dicari, bahan-bahan pembuat baret, seperti benang wol masih harus impor dan hubungan dengan para anggota militer juga menjadi kunci. “Tapi terkadang, pabrik baret itu nasibnya tidak menentu walaupun sudah ada hubungan sekalipun,” ujarnya. Ada beberapa pabrik baret di Indonesia seperti salah satunya, CV. Rajawali 9 Garment. Walaupun saingannya tidak begitu banyak, namun prinsip yang dipegang oleh laki-laki yang menikahi Yetty Surya, anak perempuan dari pasangan Surya Bhakti dan Isabela Sriliani ini hanya satu dalam persaingan bisnis baret ini.
“Selama barang kita bagus, orang pasti akan datang. Maka dari itu, saya punya komitmen untuk memberikan yang terbaik.” Ia berani mengganti baret yang cacat jika ada yang warna yang kurang solid. Ia mengakui harga yang ditawarkan memang lebih mahal dibandingkan pabrik yang lain, namun ia percaya dengan baret yang ia hasilkan bukan baret sembarangan. “Kalau ada yang cacat satu, saya ganti dengan dua baret,” katanya. Maka dari itu, keuletan dan keberanian adalah faktor penting yang harus dimiliki dalam bisnis ini menurutnya.
“Pribadi saya sendiri yang menjadi motivasi. Keluarga saya tidak begitu menyukai usaha ini sebenarnya karena banyak faktor. Namun, saya tahu bahwa usaha ini sudah menjadi jalan saya,” kata laki-laki yang memiliki dua orang anak ini. “Dan bagi saya baret adalah kebanggaan saya,” tambahnya lagi. Melihat baret yang dihasilkan dari hasil usahanya sendiri dan dipakai oleh hampir seluruh angkatan darat di Indonesia khususnya KOPASSUS, belum lagi ditambah baret tersebut dipakai oleh anggota-anggota TNI ternama, seperti Jenderal Hartono,  Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Pramono Edhie Wibowo, Prabowo Subianto bahkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Permintaan brevet kehormatan Baret Kopassus kepada Bapak SBY
 dari Kabekang Kopassus Cijantung
 Anne Clarissa, anak perempuannya ini juga menyatakan hal yang sama. “Baret itu kebanggaan Papa,” katanya. Di matanya, sosok ayahnya adalah pribadi yang ambisius, realistis dan bermental baja.“ Sadar atau tidak sadar, Papa selalu pakai baret kemana pun dia pergi,” ujar perempuan yang juga mempromosikan baret kepada temannya sebagai salah satu bentuk atribut fashion. “Jadinya, kalau lihat Papa, nggak pakai baret, rasanya ada yang kurang aja,” tambahnya lagi.
“Saya tidak bisa membuat seperti yang lain, tapi saya bisa membuat yang lebih baik,” ujar laki-laki yang mempunyai keinginan membuat pabrik emblem tentara ini. “Saya percaya dengan baret saya,” tambahnya lagi. Baret menjadi sebuah rasa kepercayaan diri serta kebanggaan, dan itulah makna baret bagi Pandu Djarwanto.

Zerica Estefania Surya/ 11140110026/ C


Rabu, 20 Maret 2013

Bermain Tak Mengenal Zaman (Tugas Penulisan Feature Kedua)



Apa yang Anda lakukan ketika Anda merasa bosan waktu kecil? Rasanya tidak sabar untuk pulang sekolah dan bertemu teman-teman. Pergi ke lapangan sambil membawa bola sepak atau bertemu dengan barbie tercinta di rumah. Apa pun macamnya, semuanya itu merujuk pada satu hal. Ya, apalagi kalau bukan bermain. Setiap orang memiliki masa kecil yang berbeda dan memainkan permainan yang berbeda, namun mereka melakukan hal yang menyenangkan ini dengan cara mereka sendiri.
Olinda mengunyah nasi putih yang ia santap bersama tumis sawi hijau yang dibuatnya. Ia mengerutkan dahinya, mengingat kembali masa kecilnya. “Waktu saya umur 15 tahun, saya sering main congklak,” kata perempuan yang berusia 55 tahun ini. Congklak yang ia maksud bukan dari plastik atau kayu yang ada di zaman sekarang. “Kita buat sendiri dari tanah. Buat lubang terus main pakai batu kecil.” Waktu ia kecil, ia bermain dengan Sudit, Nuisa, Abusta dan Susepa, teman-temannya.
Olinda
“Dulu, kita juga sering main bombakeru.” Bombakeru adalah sejenis permainan “ular naga” di mana anak-anak berbaris panjang menyerupai tubuh naga yang panjang dan dengan diiringi lagu, mereka berjalan dan berputar sampai lagu habis. Kemudian, dua anak yang berhadapan untuk membuat terowongan “si naga” bisa menangkap salah satu anak. Bedanya istilah ini populer di daerah Timor Leste. Di masa kecil perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga itu, boneka sudah ada, namun jarang sekali. Hanya toko milik warga Tionghoa yang menyediakan, itu pun sangat sedikit dan mahal. “Mending buat makan duitnya,” tuturnya.
Lain halnya dengan pengalaman Hironimus Alo Bua. Laki-laki yang biasa disapa Roni ini, bermain bola pada masa kecilnya. “Paling asik. Kalau hujan lanjut terus,” katanya sambil tertawa. Sambil mengelus seekor anjing chihuahua hitam berkepala coklat di garasi berlantai putih, ia mulai memikirkan nama teman-teman yang biasa ia ajak main. “Ada Tomas, Niko, sama Sondy.” Kalau sudah sore, mereka berempat pasti langsung pergi ke lapangan kosong dekat sekolah. “Kadang main bola.Pernah bukannya nendang bola malah nendang batu,” sambil menunjukkan kuku kelingking kaki kirinya yang hilang.
“Atau nggak, kita biasa main Santo,” lanjut laki-laki yang berkulit sawo matang dan menggunakan baju garis-garis biru itu. Permainan Santo dalam istilah Toraja adalah permainan melempar batu dengan kaki menuju batu-batu yang sudah ditumpuk di belakang sebuah garis. “Kadang orang tua suka ngomel, soalnya kerjaan belum beres tapi udah kabur main.”
Benny Surya yang bekerja sebagai salah satu pegawai supplier makanan tentara, di sebuah perusahaan swasta , juga sering kena marah oleh orang tuanya karena kebanyakan main. “Gara-gara main layangan sampai malam.” Ditanya mengenai permainan favorit, bapak dengan tiga orang anak ini menjawab sepak bola adalah permainan yang paling seru. “Saking serunya, sampai bela-belain bangun pagi buat main bola di jalan raya.” Ia membetulkan kacamata  lis hitamnya. “Tapi, cuman pas sahur di bulan puasa, jadi jalanan sepi.”
Kalau anak perempuan di daerahnya waktu itu, mereka senang bermain samse dan bekel. Samse adalah permainan di mana anak perempuan biasanya mengumpulkan bunga, kemudian diikat dan mereka akan melemparnya dengan kaki secara beregu, berharap bunga tidak jatuh. “Mami, juga pernah main bekel,” kata ibu saya, Celia Vide. Perempuan berambut pendek ini langsung pergi mengambil batu-batu di depan rumah dan membawanya ke kamarnya. Ia mengenggam delapan batu coklat dan melempar satu batu ke atas. Matanya tetap menuju batu yang berada di udara dan menyebarkan sisa batu yang ada di tangan kanannya itu. “Nih yah, lihat.” Perempuan yang memiliki tato berbentuk bunga di kakinya, melemparkan batu yang sudah ia tangkap sebelumnya, dan mengambil satu batu yang tadinya sudah disebar. “Begitu terus sampai habis, lanjutnya ambil dua-dua.” Permainan ini biasanya dimainkan dengan menggunakan bola bulat kecil yang biasa disebut bola bekel. “Kalau di zaman Mami, belom ada bolanya. Jadi, mainnya kayak gini.”
Carlos Denizio bermain dengan PSP birunya
Namun, permainan tradisional sangat jarang dimainkan oleh Carlos Denizio yang masih duduk di kelas lima SD Pahoa, Gading Serpong ini. “Jarang banget. Temenku yang perempuan juga nggak main. Paling petak umpet,” katanya yang mengenakan kaus kutang berwarna putih dan celana merah. Pengaruh teknologi permainan yang ada dan juga pengaruh dari teman-temannya sangat dirasakan Deniz. “Kalau kita main petak umpet nih ya, pasti ada yang bilang “Jadul! Jadul!” gitu,” ujarnya sambil memegang Playstation Portable-nya yang berwarna biru, atau yang lebih dikenal sebagai PSP.
“Main Playstation yang paling asik. Soalnya seru, ada tokohnya. Bisa jalan lagi,” ujar laki-laki yang juga lebih memilih bermain dengan iPad dan game online. Walaupun begitu, menurutnya bermain dengan teman-teman yang “ada” lebih seru dibandingkan bermain lewat internet. Hal serupa juga disampaikan oleh Jose Vide. “Walaupun udah ada video game waktu itu, tapi saya lebih memilih bermain bola di lapangan bersama teman-teman,” kata laki-laki yang berusia 25 tahun itu.
Jika dibandingkan dengan teknologi permainan sekarang, Benny lebih memilih permainan yang ia mainkan dulu. “Lebih asik rame-rame. Udah gitu mainan pun kita buat sendiri. Kalau sekarang, banyakan anak-anak main, tapi sendirian aja di kamar.” Ia pernah membuat mobil-mobilan dari kulit jeruk Bali dan ia mainkan bersama teman-teman SD-nya.
Roni yang pernah memainkan playstation sebelumnya juga tetap memilih bermain sepak bola di lapangan dengan keringat mengucur. “Biasa aja. ‘Rasa’-nya beda aja,” katanya sambil mengangkat kedua bahunya. Untuk Lissa Christie yang sedang duduk di kelas tiga SMA Tarakanita, Gading Serpong, bermain dengan menggunakan “mesin” dan bermain dengan barbie kesayangannya memiliki daya tarik masing-masing.
Bagi perempuan berambut ombak panjang ini, bermain dengan playstation seru karena adanya grafis, gambar yang ditampilkan lewat televisi. Hal itu yang membuat playstation menarik menurutnya. Walaupun boneka Barbie yang ia koleksi, sudah banyak disumbangkan, namun terkadang jika mengingatnya kembali, ada perasaan menyesal dan rindu akan boneka yang berbentuk manusia itu. “Gue dulu lebih sering main sendiri di rumah sama Barbie gue. Jadi, kangen aja kalau ingat lagi.”
Apa pun permainan yang dimainkan dan apa pun benda yang digunakan, mereka semua tertawa dan tersenyum menceritakan kembali masa kecilnya. Mau dari manapun mereka berasal, dan dari era manapun mereka, bermain masuk ke dalam kenangan mereka dan hal tersebut tidak tergantikan. Jadi, bagaimana dengan Anda?

Zerica Estefania Surya/11140110026

Rabu, 27 Februari 2013

"Kwaheri The Vulture" (Tugas Penulisan Feature)



Kwaheriiii tha volcha!!” Laki-laki berkulit gelap itu berseru dengan suara lantang. Mungkin kita tidak mengerti apa maksud dari perkataan laki-laki, yang menggunakan baju berwarna hijau dan penutup kepala hitam itu. Namun, tidak demikian dengan para warga Kenya yang tergabung dalam Ballot Revolution. Ya, ia tidak sendirian. Sambil membawa banyak peti mati berwarna hitam dengan tulisan “Burry The Vulture With Your Vote” di atasnya, para warga dari salah satu negara di Afrika Timur itu berjalan menuju gedung parlemen. Mereka bernyanyi,  mengangkat bendera kecil yang berwarna dominan hijau, merah dan hitam itu, menyiratkan keinginan adanya keadilan terhadap negara mereka. Seorang anak kecil juga terlihat ikut berjalan sambil membawa pesan yang bertuliskan “LEADERS MUST PAY TAXES” berwarna merah. Mereka terus berjalan, bersiul dan meneriakkan aspirasi mereka.
Boniface Mwangi, seorang jurnalis foto asal Kenya adalah sosok yang berada di balik Ballot Revolution ini. Laki-laki yang berkulit gelap ini beserta rekan-rekannya mencoba untuk menyampaikan aspirasi mereka lewat graffiti atau street art. “Kenya adalah salah satu negara yang terindah di dunia, tetapi orang Kenya sendiri adalah pengecut,” katanya dalam perjalanan menuju Central Nairobi dengan menggunakan mobil.
“Kami banyak mengeluh mengenai korupsi, kebebasan hukum, pengambilan tanah secara paksa, tetapi kami tidak berbuat apa-apa”, lanjutnya. Hal inilah yang menyebabkan ia dan teman-temannya untuk keluar dari zona aman dan mengungkap kebenaran.
Pukul sepuluh malam sesampainya di sana, mereka menyiapkan lampu, menyalakan layar proyektor dan menampilkan beberapa gambar. Mereka selain Boniface,  menggunakan piloks untuk menggambar outline sesuai dengan gambar yang dikeluarkan proyektor. Para anggota parlemen disimbolkan dengan seekor burung bangkai yang duduk di sebuah kursi layaknya raja, yang tangan kanannya dirantai dengan koper yang berisikan uang dan tangan kirinya memegang cangkir yang mengeluarkan asap. Senyum licik tergambar di wajah burung berparuh besar itu dan di sebelah kiri kepalanya persis ditulis pemikirannya dengan huruf kapital. “Am a tribal leader. They loot, rape, burn, and kill in my defence. I steal their taxes, grab land, but the idiots will still vote for me”.
“Inti dari ide ini untuk membangun kembali pemikiran masyarakat khususnya, anak muda,” kata Uhuru, salah satu seniman graffiti. Mereka semua berhasil melakukan aksi ini tanpa mendapatkan perhatian dari polisi. Boniface yang malam itu menggunakan topi rajut putih, kemeja garis-garis berwarna hijau lumut dipadu dengan jaket hitam, meloncat  kegirangan sambil tersenyum lebar melihat gambar-gambar yang telah diselesaikan teman-temannya.
“Kau tahu, aku akan datang besok pagi sekitar jam sepuluh untuk melihat hasilnya,” katanya.
“Semua orang akan bangun dan melihat karya seni ini menghantam mereka tepat di wajah mereka,” kata Bankslave, salah satu seniman graffiti lainnya. Langit gelap yang menandakan malam akhirnya berubah menjadi terang kembali. Pukul tujuh pagi keesokan harinya, aktivitas kembali seperti biasa. Mobil-mobil putih berlalu-lalang di jalan, seorang laki-laki berbaju kotak-kotak dengan celana panjang menarik tabung-tabung berwarna kuning yang sudah diikat pada sebuah besi beroda. Namun, hari itu banyak orang yang berhenti untuk menatap hasil karya yang telah dibuat Boniface dengan teman-temannya, malam sebelumnya. Ada yang menatap kebingungan, ada juga yang tertawa.
“Tetapi, orang idiot itu tetap memilihku. Kita adalah orang idiot itu,” respon salah satu laki-laki sambil tertawa. Seminggu kemudian, apa yang dilakukan Boniface dan teman-temannya menjadi berita nasional dan polisi pun berusaha mencari pelakunya. Beberapa politisi bahkan sempat mendatangi laki-laki yang tinggal di Nairobi ini untuk mengajaknya bekerja sama, dan mau memberikannya uang, namun hal itu ditolak olehnya. Ancaman pun muncul, beberapa hari setelahnya, ia dipanggil oleh polisi. Laki-laki yang sudah memiliki anak ini, mengumpulkan teman-temannya lewat online untuk datang ke kantor polisi. Tidak lama kemudian, ia pun bebas.
Pada Desember,2007, Pihak oposisi yang merasa jabatan presiden direbut oleh Mwai Kibaki mengakibatkan terjadinya kekerasan etnis. Antar masyarakat saling melempar batu, korban berjatuhan, rumah-rumah dibakar. Seorang wanita berbaju biru muda hanya bisa menangis, meratapi apa yang terjadi. 1.100 orang terbunuh dan sampai 600.00 orang terlantar akibat kekerasan itu. Boniface yang waktu itu meliput akhirnya membuat sebuah pameran foto di jalanan atau yang ia sebut Picha Mtaani.
Banyak orang yang melihat hasil karyanya, bahkan di antara orang tersebut ada seorang laki-laki dengan tangan buntung dan menggunakan kemeja berwarna abu-abu, melihat “telapak tangannya” yang masih memegang sebuah sabit kecil dari besi di atas sebuah batu dan sempat diabadikan oleh sang fotografer. Ada yang terkejut, ada yang menangis mengingat masa lalu yang kelam itu. Di kota Naivasha, Boniface terpaksa menghentikan pamerannya karena adanya orang yang tidak senang dengan apa yang dilakukannya. Hal itulah yang membuat Boniface dan teman-temannya memikirkan kejutan terakhir yaitu peti mati.
“We want justice, now! Now! Now!” Kalimat itu terus diulang-ulang oleh para massa sampai di gedung parlemen. “Thieves! Thieves!” Teriak laki-laki bertubuh besar dengan kaos putih, tepat di depan pagar hitam gedung parlemen. Massa pun tidak terkontrol. Banyak orang berteriak bahkan ada yang melempar peti mati hitam itu ke dalam gedung parlemen. Melihat hal itu, Boniface pun akhirnya turun tangan mengambil alih perhatian mereka.
“Kita akan meninggalkan semua peti mati di depan pagar. Tidak perlu ada kekerasan. Kita akan memperbaikinya dengan hak suara kita.”
“Kita bukan orang kasar dan kita ingin kedamaian dalam Ballot Revolution ini,”lanjutnya lagi. Semua orang mendengarkannya dan mulai menaruh semua peti mati di depan pagar tersebut. Mereka menyusunnya secara vertikal agar tulisan yang ada di atas peti terlihat, ingin suara mereka di dengar.
“Kita datang dengan damai, maka kita juga pulang dengan damai,” kata Boniface yang hari itu menggunakan baju berwarna hitam. Pemilihan umum selanjutnya akan diadakan pada tahun 2013 dan laki-laki dengan rambut tipis itu sadar bahwa apa yang ia lakukan mungkin  sia-sia, tetapi ia tidak ingin kehilangan harapan dan ia tahu doanya akan terjawab cepat atau lambat. Ia sangat berharap sifat dari “burung bangkai” itu hilang. Itulah sebabnya mereka menulis “Bury the Vulture” atau dalam bahasa Swahili, “Kwaheri the vulture”.
 ---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tugas Penulisan Feature dari video Kenya Rising, Zerica Estefania Surya