Kamis, 02 Mei 2013

Kebanggaan Dalam Sebuah Baret (Tugas Feature Profil)



Pandu Djarwanto sekali-kali menatap pabrik baret dua tingkat yang ia miliki di hadapannya sambil merokok. Tumpukan baret hijau yang ada di meja, mesin-mesin pembuat topi khusus untuk para tentara yang diimpor langsung dari Jepang, tabung-tabung erlenmeyer berisikan warna-warna sintesis yang samar-samar terlihat, karena pencahayaan yang kurang di malam hari itu, menghiasi halaman belakangnya. Asap rokok yang ia keluarkan dari mulutnya seakan-akan menjadi pengantarnya mengenang kembali perjalanannya menjadi seorang pengusaha baret tentara.
Laki-laki yang berasal dari Solo ini pergi ke Jakarta pada tahun 1966 untuk membantu pamannya yang adalah seorang pedagang tekstil. Ia pun berhenti kuliah pada tahun ketiganya di Trisakti karena kesibukan membantu pamannya ini. Tahun 1990, ia sempat menjadi supplier baret dan sepatu untuk TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan POLRI (Polisi Republik Indonesia). Tujuh belas tahun kemudian, dengan bekal dan pengalamannya, laki-laki yang menggunakan baret hitam bertuliskan “Old Navy” pada saat diwawancara ini, memutuskan untuk membangun pabriknya sendiri yang sekarang terletak di rumahnya di Bintaro.
Pandu Djarwanto
“Tahun 2008 jadi tahun perdana baret saya,”ujarnya. Acara ulang tahun angkatan darat atau Hari Juang Kartika yang diselenggarakan pada 15 Desember di Pacitan itu menjadi momen penting baginya. Ia masih ingat betul dua hari sebelumnya, di hari Sabtu, ia mendapat telepon dari Yayan, salah seorang tentara yang menjadi “jembatan” agar baret dari PT Bhakti Prakasa, nama pabrik miliknya, bisa dipakai seluruh angkatan darat termasuk yang hadir salah satunya adalah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
“Dia (Yayan) sempat tidak percaya dengan saya karena masih baru,” katanya. Yayan bahkan berpendapat untuk tetap membayar baret dari pabrik laki-laki yang memiliki kulit sawo matang ini, namun tidak menggunakan baret miliknya melainkan yang sudah ada di gudang angkatan darat.“Tidak apa, Pak. Tetap, pakai baret saya saja, Saya jamin. Bapak tidak usah khawatir” tuturnya, kembali mengilustrasikan pernyataannya kepada Yayan lima tahun yang lalu.
Bagi seorang anggota TNI, baret mewakili kebanggaan dari setiap cabang dan tidak semua cabang memiliki baret. Warna hijau mewakili KOSTRAD (Komando Strategi dan Cadangan Angkatan Darat), merah mewakili KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus), hitam mewakili KAVALERI, ungu mewakili angkatan laut, jingga mewakili PASKHAS AU (Pasukan Khas Angkatan Udara) dan biru mewakili Polisi Militer, yang biasa dilengkapi dengan emblem dari masing-masing cabang. Selain itu, arah pemakaian baret juga mempunyai arti tersendiri. Baret yang biasa dipakai miring memiliki dua arti. Miring ke kiri menandakan anggota tersebut adalah anggota keamanan masyarakat, seperti POLRI. Miring ke kanan menandakan anggota tersebut adalah anggota siap tempur, seperti TNI. Tidak semua anggota dengan mudah bisa memiliki baret yang mewakili identitasnya. Inilah yang membuat baret menjadi kebanggaan lainnya.
Rasa bangga karena sebuah baret juga terjadi pada Pandu. Pukul tiga sore hari itu, saat Pandu sedang berada di Tanjung Priok, Yayan menelponnya dan mengucapkan terima kasih karena baret yang dikenakan oleh para angkatan darat, mendapatkan pujian dari para pemimpin besar TNI. “Saya benar-benar bangga luar biasa. Uangnya tidak banyak, 300 juta, namun rasa bangga melebihi tiga miliar,” katanya sambil tertawa.
Namun bukan berarti tidak ada duka dalam usahanya ini. Bekerja dengan anggota-anggota TNI dinilai tidak mudah oleh laki-laki yang lahir pada tanggal 2 Oktober 1948 ini. “Banyak hal yang tidak pernah kita ketahui,” katanya. Persaingan menjadi salah satu alasannya. Sudah beberapa kali hal ini terjadi dalam usahanya. “Yang paling terakhir  bahkan rugi banyak. Yah begitu saja tiba-tiba dibatalkan,” ujar laki-laki yang berusia 67 tahun ini. Ia berjuang untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya, namun ia tetap babak belur karena stok baret yang sudah ada karena uangnya tidak kembali seluruhnya. “Bisa saja saya lawan lebih jauh, tapi saya tahu efeknya tidak akan bagus,” lanjutnya lagi.
Hal yang juga menjadi kendala lain adalah para tenaga kerja. “Mencari tenaga kerja yang khusus di bidang tertetu sangat sulit.” Para tenaga kerja rata-rata masih muda dan berasal dari kalangan tidak mampu. Ada yang putus sekolah dan ada juga yang anak tukang becak. Biasanya mereka membawa teman-teman mereka untuk bekerja. Yang penting menurut laki-laki yang memiliki seorang cucu perempuan ini, anak-anak tersebut mau diajak bekerja dan mau belajar. Tidak peduli apapun latar belakang pendidikannya.
Dalam sehari, baret yang dihasilkan PT Bhakti Prakasa bisa mencapai 500 buah. Mesin-mesin yang dipakai masih impor karena masih jarang ditemukan di Indonesia. Terkadang untuk produksi baret pun dibagi dua dengan pabrik lain karena alasan kebutuhan stok yang banyak. Proses pemesanan pun dilakukan dengan sistem tender. “Biasanya pemilik pabrik diundang jika akan melakukan tender,” tuturnya.
Menurutnya untuk membuat pabrik baret dari awal akan sulit. Selain tenaga kerja yang sulit dicari, bahan-bahan pembuat baret, seperti benang wol masih harus impor dan hubungan dengan para anggota militer juga menjadi kunci. “Tapi terkadang, pabrik baret itu nasibnya tidak menentu walaupun sudah ada hubungan sekalipun,” ujarnya. Ada beberapa pabrik baret di Indonesia seperti salah satunya, CV. Rajawali 9 Garment. Walaupun saingannya tidak begitu banyak, namun prinsip yang dipegang oleh laki-laki yang menikahi Yetty Surya, anak perempuan dari pasangan Surya Bhakti dan Isabela Sriliani ini hanya satu dalam persaingan bisnis baret ini.
“Selama barang kita bagus, orang pasti akan datang. Maka dari itu, saya punya komitmen untuk memberikan yang terbaik.” Ia berani mengganti baret yang cacat jika ada yang warna yang kurang solid. Ia mengakui harga yang ditawarkan memang lebih mahal dibandingkan pabrik yang lain, namun ia percaya dengan baret yang ia hasilkan bukan baret sembarangan. “Kalau ada yang cacat satu, saya ganti dengan dua baret,” katanya. Maka dari itu, keuletan dan keberanian adalah faktor penting yang harus dimiliki dalam bisnis ini menurutnya.
“Pribadi saya sendiri yang menjadi motivasi. Keluarga saya tidak begitu menyukai usaha ini sebenarnya karena banyak faktor. Namun, saya tahu bahwa usaha ini sudah menjadi jalan saya,” kata laki-laki yang memiliki dua orang anak ini. “Dan bagi saya baret adalah kebanggaan saya,” tambahnya lagi. Melihat baret yang dihasilkan dari hasil usahanya sendiri dan dipakai oleh hampir seluruh angkatan darat di Indonesia khususnya KOPASSUS, belum lagi ditambah baret tersebut dipakai oleh anggota-anggota TNI ternama, seperti Jenderal Hartono,  Jenderal Sjafrie Sjamsoeddin, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Pramono Edhie Wibowo, Prabowo Subianto bahkan Susilo Bambang Yudhoyono.
Permintaan brevet kehormatan Baret Kopassus kepada Bapak SBY
 dari Kabekang Kopassus Cijantung
 Anne Clarissa, anak perempuannya ini juga menyatakan hal yang sama. “Baret itu kebanggaan Papa,” katanya. Di matanya, sosok ayahnya adalah pribadi yang ambisius, realistis dan bermental baja.“ Sadar atau tidak sadar, Papa selalu pakai baret kemana pun dia pergi,” ujar perempuan yang juga mempromosikan baret kepada temannya sebagai salah satu bentuk atribut fashion. “Jadinya, kalau lihat Papa, nggak pakai baret, rasanya ada yang kurang aja,” tambahnya lagi.
“Saya tidak bisa membuat seperti yang lain, tapi saya bisa membuat yang lebih baik,” ujar laki-laki yang mempunyai keinginan membuat pabrik emblem tentara ini. “Saya percaya dengan baret saya,” tambahnya lagi. Baret menjadi sebuah rasa kepercayaan diri serta kebanggaan, dan itulah makna baret bagi Pandu Djarwanto.

Zerica Estefania Surya/ 11140110026/ C


Tidak ada komentar: