Sabtu, 07 Juli 2012

Kau siapa?

Aku tidak mungkin bisa melupakan hari itu. Di dalam kamarku sendiri, aku mencoba duduk di depan cermin dan mencoba untuk merapikan rambutku. Masih kuingat bagaimana wajahku di depan cermin. Angin dari air conditioner menerpa kulitku dan bisa kurasakan udara dingin nan menyejukkan itu. Kamarku gelap, hanya samar-samar cahaya masuk ke dalam. Aku lupa untuk membuka gorden dan membiarkan jendela tetap tertutup. Alunan lagu day by day kubiarkan terus bermain sembari aku masih menyisir rambutku.
"Trakkk..." Tak sengaja, sisir dengan warna hijau lumut itu luput dari tanganku. Kuambil kembali sisir tersebut dan kutatap kembali cermin yang ada di depanku. Tapi kali ini bukan aku yang terpantul di sana.

Yah, aku yakin itu bukan diriku. Tapi, wanita itu memiliki mataku, memiliki hidungku, paras tubuhku pun sama dengannya. Namun tidak seperti diriku yang memakai kaus putih dengan celana pendek berwarna biru muda, wanita itu dengan anggunnya mengenakan gaun coklat dengan corak hitam berbentuk bunga abstrak di atasnya. Matanya dipenuhi dengan eye shadow coklat sangat cocok dengan gaun yang dia pakai. Lip gloss peach mewarnai bibirnya. Aneh. Dia tampak sepertiku hanya....lebih cantik. Aku memejamkan mataku sejenak, tetapi "dia" masih ada di pantulan cermin tersebut. Aku mencoba menengok ke kanan dan ke kiri, berharap akan ada yang mengatakan padaku bahwa aku sedang dikerjai oleh seseorang. Tapi, "dia" tetap di situ menatapku lurus.

"Kau siapa?" Itulah pertanyaan yang pertama kali kuucapkan padanya. Anehnya, tidak ada ketakutan menyelimuti diriku dan sepertinya aku sangat mengenal wanita itu. Wanita itu hanya tersenyum tanpa berkata sepatah kata pun.

"Kau siapa?" Kataku lagi. Kali ini dia tersenyum sinis dan dari matanya aku tahu dia sedang memandang rendah diriku. Mataku melotot melihat sikapnya dan tiba-tiba rasa marah menyelimutiku.

"KAU SIAPA!" Aku pun berteriak dengan geram dan mulai memegang cermin yang ada di depanku itu. Pada saat yang sama lagu day by day berakhir bersama dengan hilangnya wanita tersebut. Aku mencoba mengusap-usap cermin tersebut dan hanya wajahku yang terpantul di sana. "Dia" menghilang.

......................................................................................................................................................................

Kenapa mimpi tidak semanis kenyataan? Apakah salah jika seseorang bermimpi? Apakah mereka harus berhenti bermimpi? Apakah AKU harus berhenti bermimpi?

"Krak!!" Gelas kaca mungil favoritku hancur begitu saja dalam genggamanku. Warna putih berkilaunya menjadi merah darah dan tanganku tersayat dari pecahannya. Sakit, batinku dalam hati. Kenapa aku tidak merasakan sakit ketika bermimpi? Apakah leboh baik menyerah pada kenyataan? Aku termenung di depan komputer yang menyala. Tunggu! Aku merasa ada yang menatapku. Aku bisa merasakan kehadirannya. Aku mencoba menatap komputerku dan mulai menengok perlahan-lahan ke arah cermin dan "dia" di sana. Aku terbelalak dan mulutku tidak bisa berkata apa-apa meihat sosoknya di cermin. Matanya melirik ke arah pecahan gelas yang berwarna merah kemudian melirik tetesan darah yang jatuh serta mengalir dari tanganku.

Aku mencoba menyembunyikannya. Dia pasti akan merendahkanku lagi, pikirku. Tidak ada ekspresi apa pun di raut wajahnya. Dengan pelan-pelan, ia mengangkat tangan kanannya dan memperlihatkan telapak tangannya. Aku tersentak kaget karena ada bekas sayatan di telapak tangannya sama seperti tangan kananku. Kali ini dia tersenyum, namun dengan tatapan sedih.

"Hei, apakah kau akan menyerah begitu saja?" Kali ini dia berbicara kepadaku. Suaranya pun sangat mirip denganku. Pikiranku makin kacau ingin mengetahui tentang dirinya. Siapa dia sebenarnya? "Jangan menyerah." Dia melihat tangan kanannya sendiri. "Rasa sakit ini hanyalah awalnya. Bersiaplah untuk diinjak-injak, diludahi, diremehkan oleh orang lain. Mereka akan memberimu rasa sakit yang luar biasa sampai rasanya kau tidak akan bisa bernapas. Tangisan air mata akan mengalir deras dari kedua matamu dan tidak akan ada yang bisa kau andalkan."

"Ya, tangan itu....", katanya sambil menunjuk tanganku. "Hanya kaulah yang bisa melindunginya. Hanya kau yang bisa membuatnya tenang. Tubuhmu hanya kau yang bisa mengendalikannya. Pikiranmu pun, hanya bisa percaya pada dirimu."

"Kenapa aku harus mengalami banyak rasa sakit? Bukankah lebih baik bahwa aku lepas dari kenyataan?", kataku padanya. Dia tersenyum dan berkata, "Tidakkah kau tahu apa yang membedakan diriku dengan dirimu? Ketika kau melewati segala rasa sakit itu dan akhirnya kau mendapatkan semuanya, di suatu saat kau akan berjenti sejenak, memejamkan matamu, membukanya kembali dan berkata, 'ahhh...ini adalah kenyataan'. Aku terdiam dan menatapnya masih tidak percaya.

"Jadi....Kau siapa?" Tanyaku ragu. "Apakah kau bodoh? Tentu saja aku adalah kau." Lagi-lagi aku terbelalak. "Kau pikir kenapa kita punya rupa yang sama? Hanya saja aku datang sebagai mimpi".

"Huh? Apa maksudmu?"

"Aku dan kau adalah satu, tapi aku bisa lenyap. Sedangkan kau bisa berdiri tegak dengan kedua kakimu."
"Kau akan menghilang?"
"Kenapa dengan wajahmu yang sedih itu? Hei, aku akan kembali."
"Kapan?"
"Ketika kau menjadi diriku. Tidak buruk bukan?", katanya sambil menaikkan salah satu alisnya. "Jadi, terus berusahalah, jadi kita bisa bertemu lagi dan kali ini di dalam kenyataan tentunya." Setelah mengakhiri perkataannya, ia mulai melambaikan tangannya.

"Sampai jumpa, diriku yang nyata"
"Ah, tung..." Lagu day by day lagi-lagi berakhir bersamaan dengan kepergiannya. Aku mulai melihat kembali wujud asliku. Kutatap lama cermin tersebut dan aku pun tersenyum dan kulambaikan tanganku serta berkata,

"Sampai jumpa, diriku yang akan menjadi nyata."


Tidak ada komentar: