Senin, 15 Oktober 2012

10 Air Mata : Bab I



“Hoahmmm,” aku mulai menguap karena pidato kepala sekolah yang mulai membuatku ngantuk. “Hush, Anya jangan gitu donk, baru 15 menit ju…oahmmm.” Aku pun langsung menengok sahabat dari SD ku itu, Regina.
“Geblek-geblek…lain kali kalo mau negur gue mikir-mikir dulu, jeng,” kataku sambil tersenyum. Sebenernya aku pun sudah tidak tahan untuk tertawa melihat kelakuan si Regina. “Bukan gitu, gimana pun juga, kita harus menghormati yang lebih tua,” katanya sok bijak.
“Idih, geli banget. Lo masih bisa ngomong kayak gitu setelah apa yang telah lo lakukan. Ckckckck.”
“Jangan gitu. Gini-gini kita udah jadi anak SMP loh! Gak berasa ya?”
Aku pun menatap langit yang cerah. Ya, pada hari ini aku resmi menjadi anak SMP, tidak lagi menggunakan rok merah, rasanya enam tahun pun tak terasa lama. Seribu tahun aja gak lama kan? Hehe. Dan aku berharap bisa mendapat pengalaman yang indah di sini. Tiba-tiba suara tepuk tangan terdengar, tanda berakhirnya pidato kepala sekolah kami.                                                                             ***
“Wah, Anya kita sekelas lho! Asik ya! Kita akan memulai kisah kita bersama di tempat yang baru.”
“Berarti tahun ini pun adalah tahun sial gue. Lo tau, gue sangat berjuang keras bisa lulus ujian sekolah, coba tahun kemaren lo gak sekelas gue, gue pasti merem aja lulus dah,” kataku sambil nyengir kuda. Aku suka sekali menjahili sahabatku yang satu ini.
“Liat ntar bakal nyesel lo ngomong gitu, lo pasti bakal berterima kasih sama gue di kemudian hari nanti.”
“Apa yang perlu gue sesali? Gue udah sekelas lo satu tahun kok.” Regina pun mulai cemberut karena tidak bisa membalas ucapanku.
“Yaelah, gitu aja ngambek. Yuk, ke kelas. Gue duduk sama lo deh.” Regina akhirnya setuju walaupun aku masih bisa melihat senyum kecut di wajahnya.
***
“Alice. Bernard. Cindy.” Bu Clara wali kelas kami sedang mengabsen para murid. Banyak anak baru dari sekolah lain yang tidak kukenal. Aku berharap bisa bergaul dengan mereka semua nantinya.
“Eh, Reg, gak ada yang ganteng nih.”
“Gile lo, belum apa-apa udah ngeliat cowok aja. Aduh apa sih pentingnya cowok-cowok. Mereka tuh nothing.”
“Yah, namanya juga kaum hawa. Daripada gue ngleiatin cewek lebih serem kan? Jangan ngomong gitu, ntar juga pada akhirnya lo bakal punya cowok. Yah, kecuali…”, aku pun mulai memandangnya dengan pandangan risih.
“Gak lah ya! Gila apa lo! Gue normal kali! Cuman menurut gue cowok tuh ga penting. Kalau pun nantinya gue punya cowok, dia tuh pasti cuman mainan. Prinsip gue boys are toys.”
“Zefanya.” Aku pun mengangkat tanganku mendengar namaku dipanggil. Entah kenapa aku tidak membalas Regina. Toh, itu haknya dia punya pendapat seperti apa.
“Mulai besok kalian akan duduk sesuai denah yang telah ibu buat.”
“Yah, ibu…” Terdengar teriakan kekecewaan anak-anak. Yah, maklum lah namanya juga bekas anak SD.
“Dan jangan lupa membawa buku sesuai jadwal yang sudah dibagikan. Itu saja dari saya, silahkan istirahat. Selamat siang”
“Se…la….mat si…ang…,bu….” SD nya keliatan banget. Aku pun mengeluarkan bekal dan mulai makan. Kalau perut sudah memanggil, makanan seperti apa pun pasti membawa berkah.
“Oh ya, Aunyaa…nauntih kitha jualan-juulan yuk?” Terkadang ada rasa juga ingin mengakhiri persahabatan dengan orang ini. Tapi bagaimanapun juga dia selalu baik terhadapku.
“Telen dulu baru ngomong, Reg.”
“Nanti kita jalan-jalan yuk? Gue pengen liat-liat kelas lain”
“Iye, gampang. Makan dulu aja.”
“Eh, ada Anya sama Regina. Kita sekelas ya.” Aku menengok menuju arah suara itu dan ternyata itu suara Jenny. Aku mengenalnya. Dia dulu satu SD denganku dan Regina.
“Iya nih Jen. Lo gak makan?”
“Gue mau minta denah sama si Bu Clara bareng Sasha, lo berdua mau ikut gak?” Aku melirik sedikit ke  arah Sasha. Dulu di SD, kata temen-temen sih dia anaknya centil-centil gitu. Tapi aku tak pernah sekelas dengannya. Jadi, aku tidak tahu apa cerita itu benar atau tidak.
“Ayuo, kitah temuenin, Anyua.”, kata Regina sambil mengunyah makanannya. Aku pun menengok dengan pasrah. Aku memang teman yang baik sepertinya. Kalau tidak mungkin aku tidak akan mau mendekati Regina lagi.
                                       ***
“Gedung sekolah kita gede juga ya.” Mulailah tur wisata kami. “Tapi jauh juga ya mau ke ruang guru. Pake acara lewat kelas kakak senior lagi,” tambah Sasha lagi yang dari tadi mengomentari.
“Sedih juga ya, belom apa-apa udah jadi ketua kelas, Jen.”
“Ya nih, Anya. Gue mulu dah. Kayak gak ada orang lain aja. Lo gitu kek sekali-kali.”
“Aduh, gue  mah gak jadi pengurus kelas aja dipanggil guru mulu. Ada aja buat majalah lah, buat ngurusin ini itulah.”
“Woo, narsis nih ceritanya”
“Yah, abis kenyataan sih. Ngapain coba gue boong. Gue ude kayak anak emasnya para guru.” Dan bisa dibayangkan bagaimana reaksi Jenny yang sudah mengenalku yang narsis ini dari lama.
“Bercanda, Jen. Gue males aja. Paling entar gue mau coba ikut OSIS aja, biar makin eksis.” Jenny, Sasha dan Regina mulai menggerutu akibat kenarsisanku yang makin jadi. Kami semua pun akhirnya tertawa. Tiba-tiba ada seorang anak laki-laki yang tidak sengaja menabrak Regina yang berada di paling pinggir.
“Aduh sori, gue buru-buru nih.” Dan ternyata itu adalah Alan.
“Sialan lo kontet!” Tentu saja melihat watak dan kepribadian Regina, murkalah cewek ini.
“Ih, Regina lo jahat banget sih,” kata Sasha.
“Biarin aja emang dia kontet kok!”
“Dia sekelas kita kan? Gue tadi ngliat dia di depan pas upacara.”, kataku.
“Oh ya? Tapi dia emang kecil ya. Lucu,” tambah Jenny.
“Sekelas? Khu… khu… khu… abis dia entar sama gue di kelas,” kata Regina dengan semangat. Yah, aku hanya bisa berharap si Alan nggak makin kontet aja abis ketemu Regina nanti.
                                       ***
Aku berbaring di kamarku dan seketika mataku terlelap. Sampai pada akhirnya suara pintu membangunkanku.
“Kak! Bantuin gue bikin peer donk.” Ternyata itu suara Liana, adik perempuanku.
“Bikin sendirilah, lo kan pinter. Bisalah. Gue ngantuk nih.” Ketika aku mengatakan dia pintar, itu berarti dia memang pintar. Dan pintar di sini bukanlah pintar layaknya orang biasa. Liana adalah tipe anak yang belajar dengan 30 menit dan semuanya sudah terekam di otaknya. Mengerikan memang, tapi itulah kenyataannya.
“Planet apa yang paling besar?” Belum sempat aku menjawab pertanyaanya dia sudah berkata ‘Jupiter’ sambil menepuk dahinya.
“Kalau planet merah?”
“Venus,” jawabku ngasal.
“Bukannya Mars ya? Mars ah.”
“Lah itu tahu, kenapa tanya coba.” Aku mulai kesal. Maklum aja waktu beauty sleep ku jadi berkurang. Hehe.
“Masa nanya aja gak boleh sih. Sekalian mempererat hubungan kakak adik kita,” katanya sambil nyengir kuda.
“Oh ya, tadi ada telpon kayaknya buat lo. Cuman gue belom sempet nanya namanya dia udeh tutup telpon. Cewek sih.” Regina mungkin ya? Tapi ngapain juga dia nelpon? Niat banget. Ah… Ya sudahlah.

------------------------------------------------------------------------------------------------------
 © Zerica Estefania Surya. Novel 10 Air Mata dibuat untuk tugas mata kuliah creative writing

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ah jejeeeerrrr... ini yang cerita 7C yaa?? AAAAA.... miss you guys so much!!