Jumat, 28 Maret 2014

Ketika Media Televisi Hanyalah Sebuah Sarana Politik

Tahun 2014 pastinya tahun yang sangat penting buat Indonesia. Pesta demokrasi bakal digelar mulai 9 April nanti. Semua calon legislatif partai dan calon presiden sudah mulai berlomba-lomba berkampanye untuk mendapatkan perhatian dari rakyat Indonesia. Kebetulan ini adalah pertama kalinya saya akan memilih presiden Indonesia. Jujur, saya bukan termasuk orang yang menyukai politik karena menurut saya, politik adalah salah satu bidang yang... memusingkan. Cuman untuk seorang anak jurusan jurnalistik, kita memang dituntut tetap update dengan masalah yang terjadi di berbagai bidang, baik di dalam negeri dan luar negeri.

Setelah banyak belajar mengenai media, hal yang paling bisa terlihat bahwa teori-teori yang saya pelajari itu memang benar adalah pada momen-momen semua partai berlomba-lomba kampanye di sana-sini. Kekuasaan sang pemilik media sangat kental terlihat mulai dari iklan yang ditampilkan dalam media ataupun dari pemberitaan mengenai partai si pemilik media tersebut. Bahkan ada yang lebih kreatif, berperan dalam sebuah sinetron. Seperti yang dikutip dari antaranews.com, KPU (Komisi Pemilihan Umum) sudah meminta agar para caleg yang juga menjadi pemilik media untuk tetap berimbang dalam menyampaikan informasi, namun pada kenyataannya tidak ada media yang berimbang. Mereka punya agenda masing-masing demi kepentingan mereka. Seperti yang dilansir dari merdeka.com, pada hari pertama kampanye, sudah ada empat partai yang melanggar peraturan spot iklan kampanye, menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Empat partai tersebut adalah Partai NasDem, Hanura, Golkar dan Gerindra. Ya, sudah sewajarnya ini akan terjadi. Mungkin pengecualian untuk Gerindra karena tidak adanya kepemilikan media televisi.

Pembuka dalam tulisan Eko Ardiyanto dengan judul Iklan Politik vs Berita Politik adalah sebagai berikut:

"Data dari Survei Nielsen Media Research seperti dikutip dari buku Iklan dan Politik (2008) menunjukkan partai politik yang paling banyak beriklan di media massa pada Pemilu Legislatif 2004 muncul sebagai pemenang pemilu."


Hal ini pun ingin diterapkan oleh para caleg di tahun 2014 ini. Jadi, untuk kita sebagai masyarakat tidak kaget lagi dengan apa yang dilakukan para caleg demi memperoleh apa yang mereka inginkan. Padahal para pemilik media ini harus melakukan perizinan penyiaran sebelum bisa menyiarkan konten mereka seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika no 28/P/M.KOMINFO/09/2008 tentang Tata Cara dan Persyaratan Penyelenggaraan Penyiaran. Pada dasarnya frekuensinya masih dalam ranah publik karena masih dimiliki negara. Namun, ketika mendapatkan peringatan dari KPI, mereka terkesan tidak "kapok" dan terus melakukannya. Media yang berimbang sudah sangat sukar ditemukan apalagi ketika semuanya hanyalah menjadi sebuah sarana politik. Semoga, masyarakat lebih cerdas dalam memilih, tidak kepada mereka yang menggunakan tipu daya "pencitraan", namun memang pemimpin yang memiliki citra yang terbentuk dari hati nurani dan kerja kerasnya untuk melayani negeri tercinta ini.

Tidak ada komentar: